Senin, 18 Mei 2009

kerajaam mataram

KERAJAAN MATARAM BERPUSAT DI JAWA TIMUR

A. WANGSA ISANA

Cakalbakal Wangsa Isana

Istilah wangsa isana terdapat dalam prasasti Pucangan yang di keluarkan oleh raja Airlangga yang isinya mengenai silsilah raja Airlangga, mulai dari raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok pada tahun 963 Saka (1041).

Dengan adanya kerajaan baru, yang ingin di bangun oleh Pu Sindok maka dibangun pula wangsa yang baru. Pada prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 M) bertujuan untuk memberikan permohonan Dang Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci sehinmgga Pu Sindok dapat membangun kerajaan baru yang bernama Mataram yang beribukota di Tamwlang. Dalam Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M) adanya kemungkinan bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan disebabkan karena adanya serangan musuh yang dulunya beribukota kerajaan di Tamwlang dan prasasti Anjukladang beribukota kerajaan di Watugaluh.

Kedudukan Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram telah dipermasalahkan karena Poerbatjaraka berpendapat bahwa Pu Sindok ialah menantu Wawa, berdasarkan prasati Cunggrang yang menyebutkan sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji ari parameswari dyah kebi ( yang telah diperdewakan. Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi) dan Pu Sindok bergelar abhiseka merupakan naik tahta karena perkawainan.

Nenek Pu Sindok ialah permaisuri Daksa, yang disebut dalam prasati Limus tahun 837 Saka (915 M) dengan perkataan lain Pu Sindok ialah cucu Daksa. Pu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M, dari masa pemerintahnya ditemukan 20 prasati, C.C Berg berpendapat bahwa prasati itu palsu dan dalam silsilah Dharmawangsa Airlangga terdapat prasasti Pucangan mengatakan berbeda karena berpendapat bahwa tidak pernah ada seorang raja yang bernama Pu Sindok dalam Sejarah Indonesia alasannya bahwa semua prasaati Pu Sindok itu strukturnya sama saja hingga membosankan.

Dalam prasasti Kamalagyan tahun 927 M dan 949 M yang menunjukkan bahwa Pu Sindok benar-benar pernah ada dalam sejarah, karena didalam masyarakat Jawa Kuna tidak mungkin orang menyebut bangunan suci tempat memuja arwahnya kalau bangunan suci itu tidak benar ada yang disebut sima dan tugas kewajiban penduduk di daerah yang dijadikan sima ialah memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran i pawitra).

Menurut J.G.de Casparis parasati Anjukladang mengandung tentang adanya serbuan dari Melayu (Sumatra). Tentara Melayu bergerak sampai dekat Nganjuk, tetapidapat dihalau oleh pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok yang waktu itu masih belum menjadi raja. Atas jasanya yang besar terhadap kerajaan itu maka Pu Sindok kemudiaan diangkat menjadi raja.

Prasati Gulung gulung tahun 815 S (929 M) yang bernama Pu Madhuralokaranjana amat besar amalanya dalam bidang keagamaan, karena ia mohon kepada raja agar dipernankan menetapkan sawah didesa Gulung gulung dan sebidang hutan di Bantaran menjadi sima bertujuan untuk menjadikan tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad.

Prasasti Jru-Jru tahun 852 Saka (930 M) didalam parasati ini Rakryan Hujun memohon kepada raja untuk diperkenenkan desa Jeru-Jeru menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujun yaitu Sang Sala di Himad karena di sini adanya perebutan persengketaan antara penduduk desa Walandit dengan penduduk desa Himad.

Prasasti Mucang disebut sang hyang swayambhuwa i walandit yaitu bangunan yang diidentifikasi tempat pemujaan Gunung Brom, karena Swayambhu ialah nama lain dewa Brahma yaitu dewa pencipta alam semesta sehingga penduduk menobatkan sebagai orang yang suci, tatapi apakah sang hyang swayambhuwa i walandit dapat dianggap sebagai bangunan suci untuk pemujaandewa tertinggi dengan adanya sang hyana dharma ring isanabhawana dinggap pula sebagai candi pemujaan wangsakara.

Didalam prasasti Geweng tahun 855 Saka (933 M) Stutterheim berpendapat bahwa Rakyan binihaji sri parameswari bukanlah permasuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Yang memakai gelar rakryan sri maha mantri belum dapat dijelaskan di sini.

Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M). Bahwa penduduk desa telah mendaptkan anugrah dari raja dibawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pada saat itu juga yelah diterapkan tunduk kepada penguasa.

Dharmawangsa Teguh

Setelah pemerintahan Pu Sindok hingga dharmawangsa Airlangga ada masa kegelapan yaitu masa 70 tahun karena tercatat hanya 3 prasasti yaitu:

  1. prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) yaitu yang memberikan tanah sima oleh Pu Mano yang telah diwariskan dari nenek moyangnya
  2. prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) yang berasaldari pemerintahan Dharmawangsa Teguh, tetapi nama rajanya belum terbaca dalam prasasti ini, melainkan yang terbaca adalah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah yaitu Pu Dharmmasanggramawikranta.
  3. Prasasti Lucem yang memperingati peristiwa perbaikan jalan oleh sangat Lucem pu Ghek dan penanam pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet.

Jadi boleh dikatakan masa Pu Sindok dan dharmmawangsa Teguh adalah masa gelap karena kita juga hanya mengetahui:

prasasti pucangan bahwa Pu Sindok mempunyai anak cantik karena kesuciannya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya bersuamikan raja Sri Lokapala seorang yang bijaksana mereka berdua mempunyai anak lelaki Sri Makutawangsawarddhana. Ia dilahirkan unutk menjadi permata dunia karena jiwanya diciptakan tetuju kepada kesejahteraaan semua makhluk. Ia beranak perempuan yang diberi nama Gunapriyadharmmapatni / Mahendradatta kawin dengan Udayana mereka mempunyai anak yang diberi nama Erlanggadewa yang begaikan rama yang terlahir dari Dasartha yang mempunyai sifat-sifat dan kemamuannya begitu besar.

Raja Sri Isana Dharmmawangsa Teguh Anantawikramottungadewa yang berdasarkan kitab Wiartaparwa yang mempunyai gelar mengandung unsur Isana jelas keturunan Pu Sindok secara langsung.

Kemungkinan besar ia anak Makutawangsawarddhana ayng bersaudara Mahendradatta Gunapriya Dharmmapatni yang menggantikan ayahnya mendduduki diatas tahta kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawindengan Udayana yang ternyata seorang raja dari wangsa Warmmadewa di Bal. Oleh karena itu Airlangga menyebutnya adalah masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh.

Airlangga

Prasasti pucangan menyebutkan bahwa Darmamwangsa Airlangga mendapat serangan dari Haji Wurawari,tetapi Airlangga telah dikawal atau didampingi oleh seorang hambanya yang bernama Narottama. Dan pada saaat Airlangga diserang Haji Wurawari ia masih berusia 16 tahun, tetpai karena ia mempunyai kekuatan dari dewa wisnu maka ia tidak bisa dibinasa oleh kekuasaan mahapralaya oleh karena itu ia sempat tinggal di hutan lereng gunung.

Airlangga mempunyai jiwa kepemimpinan karena dewa mencintainya dan mengkasihinya oleh karena itu ia dapat memperoleh kebahagiaan kerajaan, menambah kebahagiaan dunia, memperbaiki semua bagunan suci dan dapat menghancurkan semua kekuatan jahat yang ada di dunia.

Tapat pada tahun 941 Saka (1019 M)pra pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmma Airlangga diberi gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggd ewa, karena ia berhasil membuat patung piutnya yang dicadikan candinya Isanabajra.

Didalam parsasti Piucangan bahwa pewaris tahta adalah pemaisurinya oleh karena itu Haji Wurawari ingin menjadi calon suami permaisuri tersebut, sehingga ia berani untuk menyerbu pusat kerajaan Dharmmawangsa Teguh dengan melampiaskan sakit hatinya karena tidak dapat mempersunting putri mahkota itu.

Saat Haji Wurawari kalah untuk menyerang Airlngga yang menyerbu dari Magetan, tetpai dari sini timbulah masalah tentang seorang ratu wanita yang gagah perkasa bagaikan raksasi yang meyerang keraton Dharmmawangsa.

Pada prasasti Baru tahun 952 Saka(28 April 1030 M) bahwa raja telah memberikan anugrah kepada penduduk Desa Baru sebagai Sima, karena mereka telah memberikan layanan yang special untuk tentaranya yang menginap di Desa Baru tersebut, tetapi setelah raja dapt mengalahkan raja Hasin.

Peristiwa penaklukan raja di Hasin itu terjadi sebalum 28 1030 M. Pendapat dari E.W.van Orsoy mengatakan bahwa raja dengan tentaranya yang terbilang banyak menyerbu ke arah barat pada tahun 957 Saka (3 November 1037 M) mengalahkannya dengan taktik yang diajarkan oleh Visnugupta, raja Wijayawarma ditanggap oleh rakyatnya sendiri, lalu dibunuh.

Dengan adanya terbunuh raja tersebut, maka Airlangga selaesailakan berkampanye.maka ia dapat duduk di atas singgsana dan meletakkan kakinya di atasa kepala musuh-musuhnya.setelah terbunuhnya raja Wijawarman dari Wengker Airlangga mengeluarkan prasasti Kamaglayan memperingati pembuatan bendungan tujuannya adalah menetapkan pengurangan pajak-pajak yang harus diserahkan ke kas kerajaan. kebijakan ini bertujuan juga untuk Bengawan (Brantas) seringkali menjebolkan tanggul, sehingga banyak desa-desa terkena banjir. Hasilnya sawah-sawah mereka dapat di kerjakan lagi terdapat di Walingin Sapta.

Pada saat putri mahkota terbunuh saat serangan dari Haji Wurawari, sehingga Airlangga dapat menduduki tahta di kerajaan Mataram, sehingga Airlangga di beri kedudukan sebagai Rakai Halu.

Prasasti Cane menyebutkan bahwa penetapan Deasa Cane sebagai sima berlaku surut saat berada di Wawatan Mas sejak diserbu dengan musuh, raja memindahkan pusat kerajaan ke Kahuripan.

Airlangga mempunyai seorang pungga yaitu kitab Arjunawiwaha yang berisi tentang suatu periode dari Mahabharata yang pada waktu itu arjuna disuruh saudara-saudaranya untuk bertapa bertuujuan untuk memohon senjata ampuh yang dapat memengkan kepada para pandawa.C.C.Berg berpendapat bahwa kitab Arjunawiwaha untuk melambangkan riwayat Airlangga sendiri.


Kerajaan Medang

Medang, adalah kerajaan di Jawa Timur, pada tahun 929-1006 Masehi. Kerajaan ini merupakan kelanjutan Wangsa Sanjaya (Kerajaan Mataram Kuno), yang memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Mpu Sindok adalah pendiri kerajaan ini, sekaligus pendiri Wangsa Isyana, yang menurunkan raja-raja Medang.

Diduga akibat letusan Gunung Merapi, Raja Mataram Kuno Mpu Sindok pada tahun 929 memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh, yang terletak di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, namun Medang, Namun beberapa literatur masih menyebut Mataram.

Ada sumber sejarah lain yang menyebutkan latar belakang mengapa pusat kerajaan pindah ke timur. Singkatnya, sejak Rakai Pikatan menyebabkan Balaputeradewa hijrah ke Sriwijaya, terjadi permusuhan yang mendalam dan berlangsung berabad abad, antara Kerajaan Jawa (Mataram Hindu) dengan Kerajaan Melayu (Sriwijaya).

Raja terakhir Kerajaan Mataram Hindu, Raja WAWA, memberikan mandat dan kekuasaan penuh pada menantunya, Mpu Sendok, untuk memimpin Kerajaan Mataram Hindu dalam keadaan darurat perang untuk melawan Kerajaan Sriwijaya.

Maka di sekitar Tahun 929 M di Desa Candirejo Kec. Loceret Kab. Nganjuk, Mpu Sendok memimpin perang gerilya dan terjadi pertempuran hebat antara prajurit Empu Sendok melawan Bala Tentara kerajaan Melayu (Sriwijaya). Empu Sendok memperoleh kemenangan gilang gemilang. Kemudian Empu Sendok dinobatkan menjadi raja bergelar SRI MAHARAJA MPU SENDOK SRI ISHANA WIKRAMA DHARMA TUNGGA DEWA. Untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya, Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur.

Untuk mengenang kemenangan ini ditandai dengan sebuah tugu bernama JAYA STAMBA dan SEBUAH CANDI atau Jaya Merta. Terhadap masyarakat desa karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, oleh Empu Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status Anjuk Ladang pada tanggal 10 April 937 M.

Kerajaan Melayu (Sriwijaya) sejak abad ke 8 selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau jawa sebagai daerah taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja Medang terakhir, Dharmawangsa. Aliansi Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di pulau jawa pada saat itu adalah Raja Sri Jayabupati dan Raja Wurawuri.

Raja-raja Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyana Tunggawijaya (947-9xx)
Sri Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)

Raja Makutawangsawardhana dikenal dengan julukan Matahari Wangsa Isyana. Puterinya, Mahendradatta, menikah dengan Udayana, raja Kerajaan Bali (Wangsa Warmadewa), yang kemudian memiliki putera bernama Airlangga. Selama beberapa periode, Bali mendapat pengaruh kuat atas Jawa.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh (985-1006). Dharmawangsa dikenal sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, Carita Parahyangan ditulis dalam Bahasa Sunda, yang menceritakan kerajaan Sunda dan Galuh. Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Tahun 990, Dharmawangsa mengadakan serangan ke Sriwijaya dan mencoba merebut Palembang, namun gagal.


Keadaan penduduk

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wawatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Runtuhnya Medang
Pada tahun 1006, Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan. Airlangga, putera Mahendradatta yang masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak akan menjadi raja pertama Kerajaan Kahuripan, suksesor Mataram Kuno dan Medang.

Struktur pemerintahan

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Pendapatan kerajaan (administrasi pengadilan)

Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah daerah diperoleh dari denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana yang terjadi.

Denda- denda yang dimaksudkan yakni seperti istilah:

Ø sukha dhuka

Ø hala hayu

Ø drawya haji

Denda tindak pidana tersebut ada sesuai dengan ketentuan hukum (agama) yang berlaku saat itu yang kemudian di tulis dalam naskah-naskah untuk dijadikan aturan. Tetapi naskah tersebut tidak pernah sampai ke tangan kita dengan kata lain naskah tersebut hanya berupa prasasti.

Dalam masalah ini denda yang di utamakan nilainya adalah mengenai perpajakan.

Pada masa kerajaan mataram (wangsa sanjaya-dharmawangsa airlangga ini terdapat banyak sekali terdapat prasasti yang digunakan sebagai acuan hidup masyarakat.

Keadaan Masyarakat

Stratifikasi sosial yang ada dibagi atas kasta, yakni stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang dalam masyarakat (dalam struktur birokrasi maupun kekayaan materi).

Kebanyakan pada saat itu pekerjaan masyrakat adalah melakukan perdagangan.

Pada lingkungan kerajaan dimana tempat tinggal pejabat tertinggi dibatasi dengan tembok-tembok yang rung lingkupnya hanya boleh ditempati oleh keluarga raja, pejabat keagamaan, pejabat kehakiman dan pejabat sipil yang bergelar “rakai”.

Pada masa ini raja juga menerapkan sistem demokrasi seperti contoh, raja akan mengeluarkan perintah atas permohonan dari rakyatnya. Keputusan raja tersebut disampaikan secara tertulis kepada rakyatnya.

Dalam kerajaan mataram ini juga terdapat berbagai pejabat yang mengurus

segala segi pemerintahan, baik segi agama maupun dalam segi sipil pada wilayah kekusaannya


KERAJAAN PANJUALU DAN JANGGALA

Pembangian kerajaan oleh Airlangga

Sumber pertama yang membuktikan adanya pembagian kerajaan yaitu :

  1. prasasti arca Budhha Aksobhya yang terkenal dengan nama arca Joko Dolog yang di tuangkan melalui prasasti Wurara yang memperingati arca Mahaksobhya dan pendeta uatamanya adalah Aryya Bharad. Ia telah membagi tanah jawa menjadi 2 bagian yaitu kerajaan Janggala dan Pangjalu dengan air sakti dari kendi yang bertujuan untuk membelah tanah karena ada dua orang raja yang saling siap berperang.
  2. kitab Nagarakertagama yang menceritakan Airlangga yang mempunyai dua anak karena kasih sayangnya ia membaginya kerajaannya.
  3. kitab Calon Arang menceriatakan bahwa pada saaat pemerintahan Airlangga. Ia mendapat musibah yang dimana para penduduknya sakit pagi sore ia meninggal, sakit sore pagi disebabkan adanya seorang janda di Girah yang merasa sakit hatinya karena mempunyai anak yang amat camtik, tetapi tidak ada yang meminangnya.setelah Airlangga meminta batuan kepada Pu Bharada untuk menyuruh murid-muridnya melamar anak janda tersebut, setelah tiu wabah penyakit tersebut yang melanda daeraha tersebut tidak muncul kembali.

Dan Airlangga juga mengutus ia untuk minta kerajaan di Bali bagi kedua anaknya yaitu kerajaan Panjalu di sebelah timur dan kerajaan Janggala di sebelah barat.

C.C.Berg berpendapat kerajaan itu merupakan suatu cerita yang di buat oleh punjangga pada zaman Majapait oleh raja Hayam Wurukdengan memberikan kerajaan Wirabhumi di sebelah timur kepada anak perempuan yaitu Bhre Wirabhumi, sedangkan anaknya parameswari yang baru lahir yaitu Kusumawarddhani mewarisi kerajaan Majapahit.

kerajaan sriwijaya

  1. Sumber Sejarah

Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.

  1. Sumber Asing
    • Sumber Cina

Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.

Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M

    • Sumber Arab

Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

    • Sumber India

Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda

  1. Sumber Lokal atau Dalam Negeri

Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.

    • Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 604 S atau 682 Masehi, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga Tamwan dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.312 tentara yang berjalan kaki. Ia datang di Matayap dan akhirnya membangun kota yangbernama Sriwijaya,setelah menaklukkan beberapa daerah.

    • Prasasti Talangtuo

Prasasti berangka tahun 606 S itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk. Doa dan harapan dalam prasasti itu menunjukkan tentang sifat-sifat agama Budha.

    • Prasasti Telaga Batu.

Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Atau berisi tentang kutukan-kutukan kepada pelaku kejahatn dan kepada yang tidak tunduk pada raja. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan

    • Prasasti Kota Kapur

Prasasti berangka tahun 608 S itu menyebutkan permintaan kepada Dewa yang menjaga kerajaan Sriwijaya untuk menghukum orang yang berniat jahatdan mendurhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya. Selain itu untuk menjamin keselamatan bagi mereka yang taat. Juga isebutkan bahwa bhumi jawa tidak mau tundu pada Sriwijaya.

    • Prasasti Karang Berahi

Prasasti berangka tahun 608 S itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu. Isinya mirip dengan prasasti Kota Kapur.

    • Prasasti Nalanda

Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Serta membangun sebuah Wihara di Nalanda.

Masih banyak lagi prasasti yang menguatkan tentang selukbeluk Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno

.

  1. Sejarah dan Lokasi

Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.

Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan yakni daerah dimana terdapat pertemuan sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri (Poerbatjaraka). Sampai sekarang terdapat lima buah loasi yang diusulkan untuk menggantikan kedudukan Palembang sebagai Ibukota Sriwijaya. Para ahli sejarah sependapat bahwa Kerajaan Sriwijaya tumbuh, berkembang dan mengalami masa kejayaannya selama berabad-abad antara abad ketujuh sampai abad ke-12.

Namun lepas dari dimana letak Sriwijaya terdapat berita dari Chao Ju-Kai, dia menceritakan tentang keadaan ibukota Sriwijaya. Letanya di tepi air, penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap alng-alang. Jika rajanya keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung sutra dan iringan orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat pandai dalam berperang, bai di darat maupun di air, keberaniannya tiada tandingannya

  1. Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya
  1. Ekonomi :

Letak geografis Swarna Bhumi atau Sumatera yang sangat strategis baik sekali dalam kegiatan Internasional yang mulanya antara India dengan wilayah Asia Tenggara kala itu.Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal itu logis karena memang cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya.

Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar. Perdagangan dengan kerajaan lain kala itu menjadikan sriwijaya sebagai kerajaan yang Besar. Dalam melakukan perdagangan Sriwijaya juga melakukan hubungan Politik dengan negara rekanannya.

  1. Politik :

Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664 M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara. Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:

  1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
  2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
  3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
  4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
  5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
  6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
  7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
  8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
  9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
  10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

Jika kita gambarkan di dalam bentuk suatu pohon silsilah dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini:

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya. Untuk dapat mempertahankan peranannya sebagai negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisi daripada sebuah negara Agraris. Bahkan untuk kepentingan perdagangannya, Sriwijaya tidak segan-segan memuji Cina sebagai rekanannya. Ini adalah bagian dari usaha diplomatiknya untuk menjamin aga Cina tidak membuka perdagangan lain dengan negeri lain. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti yang ditemukan dari abad 7 dan 8 dapt ditarik kesimpulan bahwa terdapat suatu sikap yang tidak menghendaki suatu kebebasan yang terlalu besar pada penguasa daerah. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :

1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya

2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya

3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya

3. SOSIAL DAN BUDAYA

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Raja-raja Sriwijaya selalau tampil sebagai pelindung agama Budha dan penganut yang taat.Itsing, seorang pendeta Cina pernah menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.

Prasasti dan situs yang ditemukan disekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.

Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi.

Di Lampung, prasasti yang ditemukan, yaitu Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

  1. KERUNTUHAN SRIWIJAYA

Kemunduran Sriwijaya sudah mulai terlihat pada abad 12. Dimana Sriwijaya hanyalah menjadi salah satu tempat yang dikunjungi oleh pedagang cina. Peranan itu mulai berkurang setelah orang-orang Cina membawa sendiri keperluan mereka ke Cina. Daerah-daerah taklukan Sriwijaya di sepanjang pesisir Selat Malaka (semisal Kampe dan Lamuri) mulai menjadi negeri yang lngsung bisa membayar upeti ke negeri Cina, sehingga dianggap setaraf dengan Sriwijaya.Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa setelah adanya ekspedisi Pamalayu dari Raja Kertanegara nama Srwijaya tidak terdengar lagi beritanya.

Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang, Kemudian muncul kerajaan Melayu yang menggantikan Sriwijaya.

Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah MajapahitDalam buku SNI II disebutkan bahwa Melayu tidak pernah tumbuh menjadi kekuasaan tunggal seperti Sriwijaya. Mungkin hal itu terjadi karena munculnya kerajaan –kerajaan kecil bekas taklukan Sriwijaya.



KERAJAAN MELAYU JAMBI

A . Sumber Sejarah

Sumber Berita Cinna

Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).

Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.

B. Lokasi

Lokasi Malayu Tua

Ada beberapa pendapat yang dikeukakan tentang keberadaaan atau lokasi kerajaan melayu antara lain adalah sebagai berikut:

Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.

Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).

C. Politik , Sosial dan Budaya

1. Silsilah

Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan silsilah raja-raja Minangkabau.

2. Periode Pemerintahan

Agak rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.

Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.

3. Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.

4. Struktur Pemerintahan

Di masa Jambi masih menjadi kerajaan merdeka, kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Namun, belum ada kejelasan, apa status pemimpin daerah-daerah di Jambi, selama negeri ini menjadi bagian dari wilayah kerajaan lain.

5. Kehidupan Sosial Budaya

Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung, mengingat data arkeologis yang sangat minim

KESIMPULAN

Dari keterangan yang telah kami jelaskan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa :

  1. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar yang pernah ada di Indonesia. Meskipun sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang dimana letak pasti kerajaan Sriwijaya.
  2. Kekuatan Armada laut Sriwijaya adalah kekuatan yang sangat disegani pada masanya.
  3. Setelah keruntuhan Sriwijaya, muncul Kerajaan Melayu di daerah Sumatera (sekitar Jambi). Namun Melayu bukan menjadi kerajaan tunggal seperti Sriwijaya di Sumatera.
  4. Sebagai bangsa yang besar kita masih perlu mengungkap rahasia terpendam Kerajaan Sriwijaya yang belum terungkap
  5. Bahwa kerajaan melayu masuh memiliki banyak informasi yang belum kita ketahui untuk itu kita harus mencarai sumber –sumber –sumber untuk mengetahui kerajaan melayu yang masih banyak belum terungkap.

SUMBER MAKALAH /D aftar Pustaka : 1. SNI 4

2. SNI 2

3. www.sejarahmelayu.com

4. www.kompas.com

5. www.depdagri.com

6. www.kerajaandharmasraya.htm