Senin, 18 Mei 2009

kerajaam mataram

KERAJAAN MATARAM BERPUSAT DI JAWA TIMUR

A. WANGSA ISANA

Cakalbakal Wangsa Isana

Istilah wangsa isana terdapat dalam prasasti Pucangan yang di keluarkan oleh raja Airlangga yang isinya mengenai silsilah raja Airlangga, mulai dari raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok pada tahun 963 Saka (1041).

Dengan adanya kerajaan baru, yang ingin di bangun oleh Pu Sindok maka dibangun pula wangsa yang baru. Pada prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 M) bertujuan untuk memberikan permohonan Dang Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci sehinmgga Pu Sindok dapat membangun kerajaan baru yang bernama Mataram yang beribukota di Tamwlang. Dalam Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M) adanya kemungkinan bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan disebabkan karena adanya serangan musuh yang dulunya beribukota kerajaan di Tamwlang dan prasasti Anjukladang beribukota kerajaan di Watugaluh.

Kedudukan Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram telah dipermasalahkan karena Poerbatjaraka berpendapat bahwa Pu Sindok ialah menantu Wawa, berdasarkan prasati Cunggrang yang menyebutkan sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji ari parameswari dyah kebi ( yang telah diperdewakan. Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi) dan Pu Sindok bergelar abhiseka merupakan naik tahta karena perkawainan.

Nenek Pu Sindok ialah permaisuri Daksa, yang disebut dalam prasati Limus tahun 837 Saka (915 M) dengan perkataan lain Pu Sindok ialah cucu Daksa. Pu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M, dari masa pemerintahnya ditemukan 20 prasati, C.C Berg berpendapat bahwa prasati itu palsu dan dalam silsilah Dharmawangsa Airlangga terdapat prasasti Pucangan mengatakan berbeda karena berpendapat bahwa tidak pernah ada seorang raja yang bernama Pu Sindok dalam Sejarah Indonesia alasannya bahwa semua prasaati Pu Sindok itu strukturnya sama saja hingga membosankan.

Dalam prasasti Kamalagyan tahun 927 M dan 949 M yang menunjukkan bahwa Pu Sindok benar-benar pernah ada dalam sejarah, karena didalam masyarakat Jawa Kuna tidak mungkin orang menyebut bangunan suci tempat memuja arwahnya kalau bangunan suci itu tidak benar ada yang disebut sima dan tugas kewajiban penduduk di daerah yang dijadikan sima ialah memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran i pawitra).

Menurut J.G.de Casparis parasati Anjukladang mengandung tentang adanya serbuan dari Melayu (Sumatra). Tentara Melayu bergerak sampai dekat Nganjuk, tetapidapat dihalau oleh pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok yang waktu itu masih belum menjadi raja. Atas jasanya yang besar terhadap kerajaan itu maka Pu Sindok kemudiaan diangkat menjadi raja.

Prasati Gulung gulung tahun 815 S (929 M) yang bernama Pu Madhuralokaranjana amat besar amalanya dalam bidang keagamaan, karena ia mohon kepada raja agar dipernankan menetapkan sawah didesa Gulung gulung dan sebidang hutan di Bantaran menjadi sima bertujuan untuk menjadikan tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad.

Prasasti Jru-Jru tahun 852 Saka (930 M) didalam parasati ini Rakryan Hujun memohon kepada raja untuk diperkenenkan desa Jeru-Jeru menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujun yaitu Sang Sala di Himad karena di sini adanya perebutan persengketaan antara penduduk desa Walandit dengan penduduk desa Himad.

Prasasti Mucang disebut sang hyang swayambhuwa i walandit yaitu bangunan yang diidentifikasi tempat pemujaan Gunung Brom, karena Swayambhu ialah nama lain dewa Brahma yaitu dewa pencipta alam semesta sehingga penduduk menobatkan sebagai orang yang suci, tatapi apakah sang hyang swayambhuwa i walandit dapat dianggap sebagai bangunan suci untuk pemujaandewa tertinggi dengan adanya sang hyana dharma ring isanabhawana dinggap pula sebagai candi pemujaan wangsakara.

Didalam prasasti Geweng tahun 855 Saka (933 M) Stutterheim berpendapat bahwa Rakyan binihaji sri parameswari bukanlah permasuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Yang memakai gelar rakryan sri maha mantri belum dapat dijelaskan di sini.

Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M). Bahwa penduduk desa telah mendaptkan anugrah dari raja dibawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pada saat itu juga yelah diterapkan tunduk kepada penguasa.

Dharmawangsa Teguh

Setelah pemerintahan Pu Sindok hingga dharmawangsa Airlangga ada masa kegelapan yaitu masa 70 tahun karena tercatat hanya 3 prasasti yaitu:

  1. prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) yaitu yang memberikan tanah sima oleh Pu Mano yang telah diwariskan dari nenek moyangnya
  2. prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) yang berasaldari pemerintahan Dharmawangsa Teguh, tetapi nama rajanya belum terbaca dalam prasasti ini, melainkan yang terbaca adalah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah yaitu Pu Dharmmasanggramawikranta.
  3. Prasasti Lucem yang memperingati peristiwa perbaikan jalan oleh sangat Lucem pu Ghek dan penanam pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet.

Jadi boleh dikatakan masa Pu Sindok dan dharmmawangsa Teguh adalah masa gelap karena kita juga hanya mengetahui:

prasasti pucangan bahwa Pu Sindok mempunyai anak cantik karena kesuciannya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya bersuamikan raja Sri Lokapala seorang yang bijaksana mereka berdua mempunyai anak lelaki Sri Makutawangsawarddhana. Ia dilahirkan unutk menjadi permata dunia karena jiwanya diciptakan tetuju kepada kesejahteraaan semua makhluk. Ia beranak perempuan yang diberi nama Gunapriyadharmmapatni / Mahendradatta kawin dengan Udayana mereka mempunyai anak yang diberi nama Erlanggadewa yang begaikan rama yang terlahir dari Dasartha yang mempunyai sifat-sifat dan kemamuannya begitu besar.

Raja Sri Isana Dharmmawangsa Teguh Anantawikramottungadewa yang berdasarkan kitab Wiartaparwa yang mempunyai gelar mengandung unsur Isana jelas keturunan Pu Sindok secara langsung.

Kemungkinan besar ia anak Makutawangsawarddhana ayng bersaudara Mahendradatta Gunapriya Dharmmapatni yang menggantikan ayahnya mendduduki diatas tahta kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawindengan Udayana yang ternyata seorang raja dari wangsa Warmmadewa di Bal. Oleh karena itu Airlangga menyebutnya adalah masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh.

Airlangga

Prasasti pucangan menyebutkan bahwa Darmamwangsa Airlangga mendapat serangan dari Haji Wurawari,tetapi Airlangga telah dikawal atau didampingi oleh seorang hambanya yang bernama Narottama. Dan pada saaat Airlangga diserang Haji Wurawari ia masih berusia 16 tahun, tetpai karena ia mempunyai kekuatan dari dewa wisnu maka ia tidak bisa dibinasa oleh kekuasaan mahapralaya oleh karena itu ia sempat tinggal di hutan lereng gunung.

Airlangga mempunyai jiwa kepemimpinan karena dewa mencintainya dan mengkasihinya oleh karena itu ia dapat memperoleh kebahagiaan kerajaan, menambah kebahagiaan dunia, memperbaiki semua bagunan suci dan dapat menghancurkan semua kekuatan jahat yang ada di dunia.

Tapat pada tahun 941 Saka (1019 M)pra pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmma Airlangga diberi gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggd ewa, karena ia berhasil membuat patung piutnya yang dicadikan candinya Isanabajra.

Didalam parsasti Piucangan bahwa pewaris tahta adalah pemaisurinya oleh karena itu Haji Wurawari ingin menjadi calon suami permaisuri tersebut, sehingga ia berani untuk menyerbu pusat kerajaan Dharmmawangsa Teguh dengan melampiaskan sakit hatinya karena tidak dapat mempersunting putri mahkota itu.

Saat Haji Wurawari kalah untuk menyerang Airlngga yang menyerbu dari Magetan, tetpai dari sini timbulah masalah tentang seorang ratu wanita yang gagah perkasa bagaikan raksasi yang meyerang keraton Dharmmawangsa.

Pada prasasti Baru tahun 952 Saka(28 April 1030 M) bahwa raja telah memberikan anugrah kepada penduduk Desa Baru sebagai Sima, karena mereka telah memberikan layanan yang special untuk tentaranya yang menginap di Desa Baru tersebut, tetapi setelah raja dapt mengalahkan raja Hasin.

Peristiwa penaklukan raja di Hasin itu terjadi sebalum 28 1030 M. Pendapat dari E.W.van Orsoy mengatakan bahwa raja dengan tentaranya yang terbilang banyak menyerbu ke arah barat pada tahun 957 Saka (3 November 1037 M) mengalahkannya dengan taktik yang diajarkan oleh Visnugupta, raja Wijayawarma ditanggap oleh rakyatnya sendiri, lalu dibunuh.

Dengan adanya terbunuh raja tersebut, maka Airlangga selaesailakan berkampanye.maka ia dapat duduk di atas singgsana dan meletakkan kakinya di atasa kepala musuh-musuhnya.setelah terbunuhnya raja Wijawarman dari Wengker Airlangga mengeluarkan prasasti Kamaglayan memperingati pembuatan bendungan tujuannya adalah menetapkan pengurangan pajak-pajak yang harus diserahkan ke kas kerajaan. kebijakan ini bertujuan juga untuk Bengawan (Brantas) seringkali menjebolkan tanggul, sehingga banyak desa-desa terkena banjir. Hasilnya sawah-sawah mereka dapat di kerjakan lagi terdapat di Walingin Sapta.

Pada saat putri mahkota terbunuh saat serangan dari Haji Wurawari, sehingga Airlangga dapat menduduki tahta di kerajaan Mataram, sehingga Airlangga di beri kedudukan sebagai Rakai Halu.

Prasasti Cane menyebutkan bahwa penetapan Deasa Cane sebagai sima berlaku surut saat berada di Wawatan Mas sejak diserbu dengan musuh, raja memindahkan pusat kerajaan ke Kahuripan.

Airlangga mempunyai seorang pungga yaitu kitab Arjunawiwaha yang berisi tentang suatu periode dari Mahabharata yang pada waktu itu arjuna disuruh saudara-saudaranya untuk bertapa bertuujuan untuk memohon senjata ampuh yang dapat memengkan kepada para pandawa.C.C.Berg berpendapat bahwa kitab Arjunawiwaha untuk melambangkan riwayat Airlangga sendiri.


Kerajaan Medang

Medang, adalah kerajaan di Jawa Timur, pada tahun 929-1006 Masehi. Kerajaan ini merupakan kelanjutan Wangsa Sanjaya (Kerajaan Mataram Kuno), yang memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Mpu Sindok adalah pendiri kerajaan ini, sekaligus pendiri Wangsa Isyana, yang menurunkan raja-raja Medang.

Diduga akibat letusan Gunung Merapi, Raja Mataram Kuno Mpu Sindok pada tahun 929 memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh, yang terletak di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, namun Medang, Namun beberapa literatur masih menyebut Mataram.

Ada sumber sejarah lain yang menyebutkan latar belakang mengapa pusat kerajaan pindah ke timur. Singkatnya, sejak Rakai Pikatan menyebabkan Balaputeradewa hijrah ke Sriwijaya, terjadi permusuhan yang mendalam dan berlangsung berabad abad, antara Kerajaan Jawa (Mataram Hindu) dengan Kerajaan Melayu (Sriwijaya).

Raja terakhir Kerajaan Mataram Hindu, Raja WAWA, memberikan mandat dan kekuasaan penuh pada menantunya, Mpu Sendok, untuk memimpin Kerajaan Mataram Hindu dalam keadaan darurat perang untuk melawan Kerajaan Sriwijaya.

Maka di sekitar Tahun 929 M di Desa Candirejo Kec. Loceret Kab. Nganjuk, Mpu Sendok memimpin perang gerilya dan terjadi pertempuran hebat antara prajurit Empu Sendok melawan Bala Tentara kerajaan Melayu (Sriwijaya). Empu Sendok memperoleh kemenangan gilang gemilang. Kemudian Empu Sendok dinobatkan menjadi raja bergelar SRI MAHARAJA MPU SENDOK SRI ISHANA WIKRAMA DHARMA TUNGGA DEWA. Untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya, Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur.

Untuk mengenang kemenangan ini ditandai dengan sebuah tugu bernama JAYA STAMBA dan SEBUAH CANDI atau Jaya Merta. Terhadap masyarakat desa karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, oleh Empu Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status Anjuk Ladang pada tanggal 10 April 937 M.

Kerajaan Melayu (Sriwijaya) sejak abad ke 8 selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau jawa sebagai daerah taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja Medang terakhir, Dharmawangsa. Aliansi Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di pulau jawa pada saat itu adalah Raja Sri Jayabupati dan Raja Wurawuri.

Raja-raja Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyana Tunggawijaya (947-9xx)
Sri Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)

Raja Makutawangsawardhana dikenal dengan julukan Matahari Wangsa Isyana. Puterinya, Mahendradatta, menikah dengan Udayana, raja Kerajaan Bali (Wangsa Warmadewa), yang kemudian memiliki putera bernama Airlangga. Selama beberapa periode, Bali mendapat pengaruh kuat atas Jawa.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh (985-1006). Dharmawangsa dikenal sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, Carita Parahyangan ditulis dalam Bahasa Sunda, yang menceritakan kerajaan Sunda dan Galuh. Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Tahun 990, Dharmawangsa mengadakan serangan ke Sriwijaya dan mencoba merebut Palembang, namun gagal.


Keadaan penduduk

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wawatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Runtuhnya Medang
Pada tahun 1006, Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan. Airlangga, putera Mahendradatta yang masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak akan menjadi raja pertama Kerajaan Kahuripan, suksesor Mataram Kuno dan Medang.

Struktur pemerintahan

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Pendapatan kerajaan (administrasi pengadilan)

Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah daerah diperoleh dari denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana yang terjadi.

Denda- denda yang dimaksudkan yakni seperti istilah:

Ø sukha dhuka

Ø hala hayu

Ø drawya haji

Denda tindak pidana tersebut ada sesuai dengan ketentuan hukum (agama) yang berlaku saat itu yang kemudian di tulis dalam naskah-naskah untuk dijadikan aturan. Tetapi naskah tersebut tidak pernah sampai ke tangan kita dengan kata lain naskah tersebut hanya berupa prasasti.

Dalam masalah ini denda yang di utamakan nilainya adalah mengenai perpajakan.

Pada masa kerajaan mataram (wangsa sanjaya-dharmawangsa airlangga ini terdapat banyak sekali terdapat prasasti yang digunakan sebagai acuan hidup masyarakat.

Keadaan Masyarakat

Stratifikasi sosial yang ada dibagi atas kasta, yakni stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang dalam masyarakat (dalam struktur birokrasi maupun kekayaan materi).

Kebanyakan pada saat itu pekerjaan masyrakat adalah melakukan perdagangan.

Pada lingkungan kerajaan dimana tempat tinggal pejabat tertinggi dibatasi dengan tembok-tembok yang rung lingkupnya hanya boleh ditempati oleh keluarga raja, pejabat keagamaan, pejabat kehakiman dan pejabat sipil yang bergelar “rakai”.

Pada masa ini raja juga menerapkan sistem demokrasi seperti contoh, raja akan mengeluarkan perintah atas permohonan dari rakyatnya. Keputusan raja tersebut disampaikan secara tertulis kepada rakyatnya.

Dalam kerajaan mataram ini juga terdapat berbagai pejabat yang mengurus

segala segi pemerintahan, baik segi agama maupun dalam segi sipil pada wilayah kekusaannya


KERAJAAN PANJUALU DAN JANGGALA

Pembangian kerajaan oleh Airlangga

Sumber pertama yang membuktikan adanya pembagian kerajaan yaitu :

  1. prasasti arca Budhha Aksobhya yang terkenal dengan nama arca Joko Dolog yang di tuangkan melalui prasasti Wurara yang memperingati arca Mahaksobhya dan pendeta uatamanya adalah Aryya Bharad. Ia telah membagi tanah jawa menjadi 2 bagian yaitu kerajaan Janggala dan Pangjalu dengan air sakti dari kendi yang bertujuan untuk membelah tanah karena ada dua orang raja yang saling siap berperang.
  2. kitab Nagarakertagama yang menceritakan Airlangga yang mempunyai dua anak karena kasih sayangnya ia membaginya kerajaannya.
  3. kitab Calon Arang menceriatakan bahwa pada saaat pemerintahan Airlangga. Ia mendapat musibah yang dimana para penduduknya sakit pagi sore ia meninggal, sakit sore pagi disebabkan adanya seorang janda di Girah yang merasa sakit hatinya karena mempunyai anak yang amat camtik, tetapi tidak ada yang meminangnya.setelah Airlangga meminta batuan kepada Pu Bharada untuk menyuruh murid-muridnya melamar anak janda tersebut, setelah tiu wabah penyakit tersebut yang melanda daeraha tersebut tidak muncul kembali.

Dan Airlangga juga mengutus ia untuk minta kerajaan di Bali bagi kedua anaknya yaitu kerajaan Panjalu di sebelah timur dan kerajaan Janggala di sebelah barat.

C.C.Berg berpendapat kerajaan itu merupakan suatu cerita yang di buat oleh punjangga pada zaman Majapait oleh raja Hayam Wurukdengan memberikan kerajaan Wirabhumi di sebelah timur kepada anak perempuan yaitu Bhre Wirabhumi, sedangkan anaknya parameswari yang baru lahir yaitu Kusumawarddhani mewarisi kerajaan Majapahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar